Ponpes Al Furqon Memunculkan Para Pemikir






Ponpes Al Furqon
Memunculkan Para Pemikir
Jumat, 9 Januari 2009 | 16:28 WIB
Oleh: Adi Sucipto Kisswara
Jika dilihat sekilas kesan sebagai pondok pesantren kurang mencolok karena bangunannya bercampur dengan permukiman warga sekitar. Namun, Pondok Pesantren Al Furqon yang berlokasi di Desa Srowo, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, ini cukup diperhitungkan di kancah nasional.

Reputasi ponpes turut ditopang dengan dua majalah yang diterbitkan, yakni Al Furqon dan Al Mawadah. Distribusinya mencapai hampir seluruh Indonesia. Al Furqon yang terbit sejak 2001 dicetak hingga 20.000 eksemplar per bulan, sedangkan Al Mawadah yang terbit sejak 2007 dicetak 11.000 eksemplar. Majalah Al Furqon lebih banyak mengupas sisi keilmuan yang berat, sedang Al Mawadah sebagai majalah keluarga bernapaskan nilai-nilai Islami dengan sajian lebih ringan. Ponpes ini juga menerbitkan buletin Al Furqon.

Selain itu, buku-buku berkaitan dengan agama dan keilmuan lain yang ditulis para pengasuh ponpes maupun alumni menunjukkan peran ponpes ini dalam melahirkan para pemikir. Sembilan buku di antaranya diterbitkan oleh Pustaka Al Furqon dan ada tiga buku diterbitkan Pustaka Nabawi.

Buku yang diterbitkan Al Furqon di antaranya karya Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif berjudul Matahari Mengelilingi Bumi, Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Pengasuh dan pendiri ponpes Aunur Rofiq bin Ghufron menulis buku berjudul Ringkasan Kaidah-kaidah Bahasa Arab. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi menulis buku Meluruskan Sejarah Wahabi, Waspada terhadap Kisah-Kisah Tak Nyata, serta Indahnya Fiqih Praktis Makanan bersama Abu Abdillah Syahrul Fatwa.

Abu Abdillah Syahrul Fatwa juga menulis buku Bila Sakit Menyapa. Abu Zahroh Al Anwar menulis buku Untukmu yang Merindukan Keluarga Sakinah. Sedangkan Abu Ibrohim Muhammad Ali menulis buku Undian Berhadiah dalam Fiqih Islam. Tiga buku yang diterbitkan Pustaka Nabawi adalah karya Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi berjudul Polemik Perayaan Maulid Nabi, Bangga dengan Jenggot, dan Demonstrasi dalam Pandangan Syar'i.

Karya-karya itu menjadi bukti nyata, ponpes yang dikelilingi perkampungan ini memunculkan banyak pemikir. Ponpes Al Furqon dirintis Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron pada 1989. Pada awal berdirinya hanya punya 15 santri yang langsung dibagi dua kelas. Saat ini sedikitnya ada 500 santri yang menetap di asrama. Mereka berasal dari berbagai belahan bumi Nusantara,mulai dari berbagai wilayah di Jawa Timur, Sumatera, Sulawesi, Sumba, Lombok, Papua, Jawa Barat, Jakarta, Ambon, dan daerah lainnya.

Pada Kamis (8/1) tidak ada kegiatan khusus santri karena mereka sedang libur untuk persiapan ujian. Ada beberapa santri yang belajar di ruang mahtabah (perpustakaan, baik membaca kitab maupun mendengarkan ceramah keagamaan lewat komputer). Sementara santri anak- anak ada di sebuah ruang kelas membaca surat Al Quran. Di ruang lainnya beberapa siswa menyimak buku-buku. Santri anak-anak ini juga tengah menyiapkan ujian. Seorang santri bernama Ahmad (10) asal Keputih, Surabaya, merasa senang belajar di Al Furqon.


Sesuai kemampuan santri


Salah seorang pengasuh Ponpes Al Furqon, Ustadz Anwari Sanusi yang juga membidangi hubungan pihak luar menyatakan, pola menuntut ilmu di ponpes ini disesuaikan kemampuan santri baik dari sisi biaya maupun waktu. "Mereka yang menuntut ilmu di sini tidak harus ditargetkan sekian tahun. Ada yang hanya setahun, ada yang sampai lulus, dan ada yang ikut kursus singkat. Semua tergantung kemampuan dan kesanggupan santri," katanya.

Ponpes juga membebaskan santri dan tidak terlalu mengikat untuk berapa lama menuntut ilmu. Kebijakan itu diberlakukan terkait dengan banyaknya santri berasal dari kalangan tidak mampu sehingga mereka selain nyantri juga sambil bekerja mencari uang.

Untuk mengader pemikir muda di ponpes ini dibiasakan pelajaran bahtsun atau membahas persoalan agama. "Santri dilatih membahas dan mencari bahan di perpustakaan. Mereka bisa meneliti kitab, tafsir, fikih, ushul fikih," kata Anwari.

Santri bisa belajar menjadi pemikir dengan banyak mengkaji kitab- kitab. Di kelas akhir mereka dilibatkan mengisi rubrik Khutbah Jumat di majalah Al Furqon. Mereka dilatih menentukan topik aktual dilengkapi dengan dalil-dalil agama. Dengan sistem klasikal, selain itu ada majelis taklim, kajian di kelas setiap Jumat dilakukan usai shalat subuh.

Anwari mengatakan, dulu pernah ada pendidikan teknologi sederhana (elektronika) dengan tenaga instruktur dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1945 Surabaya. Program ini dihentikan karena peminatnya kurang dan dinilai membuat pikiran santri bercabang dua. "Kami berpikir lebih baik ponpes kami fokus pada ilmu agama saja. Lebih spesifik lagi santri banyak mempelajari ilmu nahwu sharaf dan bahasa Arab sebagai alat mengaji kitab. Model lainnya biar diselenggarakan lembaga lainnya," katanya.

Anwari menegaskan, yang jelas Ponpes Al Furqon berupaya mengikuti kitab dan menghidupkan sunah. Ponpes ini menekankan bahasa Arab bukan ilmu umum. "Prinsipnya kami utamakan skala prirotas. Agar hidup lebih bermanfaat di kampung akhirat, setiap jiwa harus menyiapkan esok sesudah mati. Kami memilih menempuh jalan dengan menghidupkan sunah," katanya.

Pengasuh lainnya bidang Lajnah Sosial, Munadhir menambahkan, dakwah Ponpes Al Furqon dilakukan dengan jalan kembali kepada Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman salafush shalih, pemurnian syariat Islam dari segala bentuk syirik, bid'ah dan pemikiran sesat serta membina kaum Muslimin dengan ajaran yang benar. Ponpes Al Furqon berupaya menghidupkan metode ilmiah berdasarkan Al Quran dan As Sunah.

0 Responses to "Ponpes Al Furqon Memunculkan Para Pemikir"